TAHUN 2014 menjadi panggung terakhir era kepresidenan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY). Beberapa bulan ke depan, layar penutup panggung itu harus diturunkan. Era SBY pun Shutdown. Republik Indonesia harus restart oleh pemimpin negawaran yang dipilih untuk melayani rakyat dan negara.
Indonesia modern harus berani meraih masa depan yang cerah. Harus berambisi menjadi bangsa yang kompetitif karena memiliki segala sesatu yang diperlukan untuk berkompetisi dengan bangsa lain, termasuk negara maju. Untuk mewujudkan ambisi itu, Indonesia harus dipimpin negarawan sejati yang bersahaja dan menyatu dengan rakyat. Pemimpin yang kuat-tegas serta visioner, mengerti tantangan zamannya dan tahu bagaimana merespons tantangan itu.
Dalam satu dekade terakhir, bangsa ini praktis telah menyia-nyiakan momentum mewujudkan kemandirian dan penguatan ketahanan nasional di berbagai aspek. Pembangunan infrastruktur hanya diwacanakan di forum seminar. Ketahanan pangan terus melemah sehingga belasan komoditi kebutuhan pokok rakyat harus diimpor. Bangsa ini belum kompetitif karena birokrasi negara belum efisien. Bahkan korupsi semakin marak. Janji presiden memimpin perang melawan korupsi praktis tinggal janji.
Semua ini terjadi karena kepemimpinan yang lemah, tanpa arah, minus prioritas dan sarat wacana. Rakyat lelah menghadapi manuver pencitraan untuk menutup-nutupi ketidakmampuan dan kegagalan pemimpinnya. Rendahnya efektivitas kepemimpinan SBY di mata publik bukan isu baru. Dalam rentang waktu hampir 10 tahun terakhir ini, setiap hari publik bergunjing dan mencibir kepemimpinan yang lemah itu. Bukan hanya lemah, lamban dan tidak responsif, bahkan periode kedua kepemimpinannya (2009 – 2014) sarat noda.
Duetnya bersama Wakil Presiden Boediono dibebani mega skandal Bank Century. Sangat beralasan bagi publik mencibir SBY karena dia minimalis menyikapi skandal ini. Dalam kasus Century, SBY sebagai panglima perang melawan korupsi jelas-jelas sudah ingkar janji. Selain kasus Century, terungkap pula dugaan perilaku korup sejumlah orang kepercayaan serta sahabat SBY, seperti Sengman Tjahya dan Bunda Putri yang membangun kartel impor daging sapi. Bahkan nama anggota keluarganya disebut-sebut pula dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) beberapa kasus korupsi.
Banyak masalah negara yang berkait langsung dengan kepentingan rakyat tidak dikelola sebagaimana mestinya. Presiden malah lebih sering lari dari persoalan atas nama alasan otonomi daerah. Dalam konteks kebijakan pengadaan dan pengamanan pangan untuk rakyat, publik tidak pernah melihat militansi presiden. Sedikit pun tak terlihat ada kebijakan pro rakyat dalam urusan pengadaan dan pengamanan pangan rakyat. Coba simak kasus harga daging sapi. Hampir setahun terakhir ini kabinet gagal mengelola persoalan sehingga harganya tetap tinggi.
Akibat rendahnya efektivitas kepemimpinan itu, banyak persoalan yang justru diselesaikan oleh rakyat sendiri, tentu saja dengan sejumlah pengorbanan. Kecenderungan inilah yang memunculkan anekdot Indonesia Negeri Auto Pilot alias negeri tanpa pemimpin. Pun, karena kegagalan mengamankan pangan rakyat dari aspek harga, sebagian rakyat merindukan lagi model pembangunan Orde Baru yang dipimpin almarhum Presiden Soeharto. Terlepas dari berbagai kekurangannya, Soeharto menetapkan sebuah prioritas yang tak bisa ditawar-tawar; kebutuhan pokok rakyat harus aman, terkendali dan terjangkau daya beli rakyat kebanyakan.
Sepanjang usia pemerintahannya, Soeharto sangat peduli pada soal yang satu ini, sehingga fluktuasi harga Sembilan kebutuhan pokok selalu diagendakan dalam sidang kabinet. Hasil monitoring pemerintah selalu dilaporkan kepada rakyat oleh Menteri Penerangan usai sidang kabinet bidang ekonomi.
Prioritas ini yang tidak ada pada SBY, sehingga publik merindukan model kepemimpinan Soeharto. Publik melihat dan merasakan bahwa demokratisasi di bidang ekonomi telah diselewengkan dan difokuskan untuk kepentingan kroni penguasa. Akibatnya, ketika para kroni bertindak melampaui batas toleransi, penguasa tak mampu mengendalikannya. Maka terjadilah kelangkaan kedelai dan melonjaknya harga daging sapi.
Tata kelola pemerintahan nyaris berantakan, sehingga gagal menjaga keberagaman. Kabinet dan birokrasi pemerintah tidak efektif, karena banyak wewenang dirampas para sengkuni dan parasit. Pusat kekuasaan yang seharusnya menjadi pendukung utama pemberantasan korupsi justru berubah menjadi mesin korupsi paling tamak. Kini, publik bahkan mulai mempertanyakan moral pemerintahan SBY, karena tak satu pun instansi mau memikul tanggungjawab atas kasus penggelembungan dana talangan Bank Century.
Kasus kenaikan harga gas elpiji 12 kilogram awal 2014 menggambarkan betapa manajemen pemerintahan ini benar-benar tidak berwibawa. Baik presiden maupun Menko Perekonomian mengatakan kenaikan harga elpiji itu sebagai aksi korporasi Pertamina yang sulit dicegah. Hanya orang bodoh yang percaya pada argumentasi ngawur seperti itu.
Bagaimana pun kebijakan menaikkan harga gas elpiji tabung 12 Kg sebagai kebijakan pemerintahan SBY, bukan kebijakan PT Pertamina. Logika sederhannya begini. Pertamina itu BUMN yang diikat dengan UU. Dia harus tunduk pada pemerintah, khususnya kepada Presiden dan Menteri ESDM sebagai Pembina. Apalagi komoditi yang dikelola Pertamina sangat strategis dalam konteks kepentingan rakyat.
Jadi, kalau presiden dan Menko Perekonomian mengatakan naiknya harga elpiji 12 Kg sebagai aksi korporasi Pertamina, pernyataan ini sarat kebohongan. Kenaikan harga itu tidak mendadak, melainkan sudah direncanakan dan diketahui pemerintah. Sebab, PT Pertamina telah melaporkan rencana kebijakan perubahan harga elpiji 12 Kg kepada Menteri ESDM Jero Wacik. Mekanisme pelaporan ini sesuai dengan Pasal 25 Peraturan Menteri ESDM No.26/2009 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Elpiji.
Karena kenaikan harga elpiji berdampak sangat luas dan signifikan terhadap kehidupan rakyat, Jero Wacik pasti tidak berani bertindak sendirian. Dia akan berkoordinasi dengan Menko Perekonomian Hatta Rajasa. Apalagi, ada dampak inflatoir dari naiknya harga gas elpiji. Hatta dan Jero Wacik pasti harus berkonsultasi dengan Presiden SBY sebelum memberi respon final kepada Pertamina.
Kesimpulannya sederhana saja; karena sejak 1 Januari 2014 Pertamina telah menaikan harga gas elpiji 12 kilogram, berarti Presiden dan para pembantunya telah menyetujui proposal Pertamina itu. Kalau tidak disetujui SBY, Pertamina tidak akan berani menaikan harga gas elpiji.
Karena itu, Instruksi SBY kepada Wapres Boediono agar mengadakan rapat koordinasi dengan para pihak terkait untuk menyikapi kenaikan harga gas elpiji sebagai kebohongan dan kepura-puraan belaka. Presiden, lagi-lagi cuci tangan dan tidak mau bertanggungjawab.
Jebakan subsidi
Strategi memerangi kemiskinan yang diterapkan selama hampir 10 tahun pemerintahan SBY bahkan salah fatal. Kemiskinan diperangi dengan aneka subsidi. Dari program bantuan langsung tunai (BLT), Bantuan Sosial ((Bansos), beras untuk warga Miskin (Raskin), Asuransi kesehatan untuk warga miskin (Askeskin), jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), Bantuan Operasional Sekolah (BOS) hingga pembagian Kompor gas gratis.
Tidak menjadi masalah jika pendanaan semua program subsidi itu bersumber dari kekuatan sendiri. Sayangnya, strategi pemberian subsidi ini layak dilihat sebagai kesalahan sangat fatal karena semuanya dibiayai dengan utang luar negeri. Program BLT ternyata dibiayai dengan utang komersiel dari Bank Dunia dengan tingkat bunga sekitar 12 – 13 persen. Bukan pinjaman lunak dari lembaga internasional yang rata-rata tingkat bunganya sekitar 4-6 persen. Fatalnya, pinjaman komersial itu disebut sebagai bantuan.
Pertanyaannya kemudian, mengapa Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB) serta lembaga keuangan multilateral lainnya mau memberi utang kepada pemerintahan SBY untuk membiayai beragam program subsidi tadi, sementara hampir semua lembaga keuangan multilateral itu justru menentang habis-habisan kebijakan subsidi bahan bakar minyak (BBM) untuk warga miskin dan industri? Apalagi, utang yang didapat Indonesia umumnya berstatus loan conditionality (utang bersyarat). Karena bersyarat, pemberi pinjaman berhak mendikte pemanfaatan dana pinjaman itu.
Berarti, pinjaman komersiel dari ADB dan Bank Dunia akan dicairkan jika SBY bersedia mengikuti petunjuk ADB dan Bank Dunia; petunjuk tentang pinjaman itu harus digunakan untuk program A atau program Z. Kalau petunjuk ADB dan Bank Dunia ditolak, pinjaman itu tidak cair. Kalau sudah begitu, tidak salah untuk mengatakan bahwa semua program subsidi yang terkesan populis itu sesungguhnya bukan kehendak atau kebijakan pemerintah RI, melainkan kehendak atau kebijakan ADB dan Bank Dunia untuk Indonesia. Mungkin, BLT dan program subsidi lainnya dirancang oleh para ahli di setiap kementerian. Tetapi, program-program itu bisa dijalankan atau tidak bergantung pada apa kata ADB dan Bank Dunia.
Tentu saja fakta ini mengusik. Pertama, patut dimunculkan kesimpulan bahwa ternyata pemerintah Indonesia pada era kepresidenan SBY (2004 – 2009 dan 2009 – 2014) tidak sepenuhnya otonom. Sebab, disain beberapa kebijakan makro didikte oleh ADB dan Bank Dunia. Menyedihkan, karena dikte itu tidak ditolak melainkan sudah diterima. Buktinya, sejumlah program subsidi masih berjalan hingga tahun ini.
Kedua, ADB dan Bank Dunia terkesan begitu bermurah hati pada SBY. Maka, kesimpulan berikutnya adalah lembaga-lembaga keuangan multilateral itu menjadi pendukung fanatik SBY. Dengan memberi pinjaman komersiel kepada pemerintahan SBY sejak tahun 2004 untuk membiayai sejumlah program subsidi, citra pemerintahan SBY menguat di mata penerima program subsidi. Tidak heran jika pada pemilihan presiden 2009 SBY masih popular. Maka, tidak salah pula untuk mengatakan bahwa kemenangan pada Pilpres 2009 berkat dukungan kuat dari ADB dan Bank Dunia.
Ketiga, Benarkah populis? Di permukaan, kesan yang tampak memang populis. Tapi pinjaman yang mendikte dan subsidi itu sarat jebakan. Karena subsidi bagi warga miskin ternyata tidak menyelesaikan masalah. Bersama ADB dan Bank Dunia, SBY telah memosisikan warga miskin Indonesia sebagai pengemis yang secara regular menunggu sedekah dari ADB dan Bank Dunia cq pemerintah RI.
Bahkan kemiskinan terus mengalami proses pendalaman, karena warga miskin tidak diberi akses menggeluti kegiatan atau program yang produktif untuk mereka sendiri. Alokasi anggaran untuk beberapa program subsidi tidak juga berkurang. Sebaliknya, keterikatan Indonesia dengan ADB dan Bank Dunia terus berlanjut karena urusan utang piutang tadi. Alokasi anggaran di APBN untuk keperluan pembayaran pokok dan bunga utang luar negeri juga tak pernah mengecil. Keterikatan ini tentu saja menghambat upaya Indonesia mewujudkan kemandirian, karena APBN terus dibebani kewajiban membayar utang.
Beginilah jadinya Indonesia ketika pemimpinnya tidak visioner dan sibuk dengan urusannya sendiri. Tidak ada yang membekas (legacy) dari 10 tahun kepemimpinan SBY. Hanya kecewa, lelah menghadapi kebohongan dan penyesalan. Kini, kisah tersebut akan segera berakhir. Tutup buku. Selamat tinggal SBY. Selamat datang Indonesia baru. Mari restart!
Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI
Fraksi Partai Golkar/
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar