SALAM KENAL

Assalamu alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh
Terima kasih sudah mampir ke blog yang sederhana ini.salam sejahtera untuk anda dari saya, dan jangan lupa beri komentar yaaah...

Jumat, 24 Desember 2010

TUJUAN SYARIAT ISLAM

Di sini saya coba akan jelaskan
bahwa hukum-hukum dalam syari'at Islam itu

punya maksud dan tujuan serta latar belakang. Maksud dan latar belakang tersebut dapat dipahami dan diterima oleh rasio secara rinci kecuali sebagian hukum-hukum yang bersifat ta'abbudi (ibadah) yang hikmahnya tidak ma'qul (tak dipahami akal) atau paling tidak akal belum

mampu memahaminya. Di antara tujuan syari'at Islam, yaitu :

1. Memelihara Kemaslahatan (kebaikan)

Yang harus diyakini kemudian di pahami bahwa syari'at Islam itu tidak lain dalam rangka menegakkan kemaslahatan para hamba dalam kehidupan yang di jalaninya baik di dunia ataupun di akhirat. Adapun kemaslahatan ini dapat kita bedakan menjadi tiga yaitu yang bersifat primer (dharuriyaat), sekunder (hajiyat), tersier/pelengkap (tahsinat).

Makna dharuriyaat (primer) adalah kemaslahatan yang menjadi tiang untuk menegakkan berbagai kemaslahatan, yang jika ini tidak ada, maka kemaslahatan dan kebaikan hidup di dunia ini akan hilang, begitupun juga kemaslahatan akhirat tidak di dapat. Imam Asy-Syathiby  berkata, "jumlah dharuriyaat (tujuan primer) itu ada lima : 1). memelihara agama, 2). Memelihara jiwa, 3). Memelihara keturunan, 4). Memelihara harta, 5). Memelihara akal. Imam Qarrafy menambahkannya yang lima ini jadi enam yaitu, 6). Memelihara kehormatan dan harga diri. Makanya kaitan ini Islam melarang menuduh orang berbuat zina melainkan dengan saksi mata paling tidak dua empat orang. Dan menetapkan hukum (dera) kepada orang yang menuduh tanpa mampu mendatangkan saksi atau bukti yang valid, karena hal ini menjatuhkan harga diri orang lain. Kalau bahasa hukum sekarang di sebut dengan delik aduan pencemaran nama baik.

Makna hajiyat (sekunder) adalah sebagai sesuatu yang dibutuhkan dalam menghilangkan kesempitan, kepayahan atau menimbulkan kesusahan karena tidak di dapat yang dibutuhkan tersebut. Singkatnya jika kebutuhan hajiyat ini tidak di dapat oleh seseorang atau tidak terpelihara, maka si hamba (Mukhalaf) tersebut mengalami kesusahan atau kepayahan namun tidak sampai ke tingkat  kebinasaan.

Makna tahsinat (pelengkap) adalah mengambil hal-hal yang baik dalam adat kebiasaan dan meninggalkan hal-hal yang buruk yang mengotori dirinya dimana akal pun memandangnya sebagai sesuatu yang tidak baik.

Dengan demikian, maka jelaslah bagi kita keuniversalan kemaslahatan dan kesempurnaan tujuan syari'at Islam. Kemaslahatan bukan hanya duniawi semata. Juga bukan hanya kemaslahatan materiil saja seperti yg di idam-idamkan kaum materialistis. Kemaslahatan ini juga bukan kemaslahatan individu semata seperti yang di serukan penganut paham eksistensialis dan para pendukung kapitalisme, atau hanya kemaslahatan sesuatu kelompok tertentu atau proletar, sebagaimana yang di gembar-gemborkan propagandisnya. Juga bukan kemaslahatan bersifat temporer hanya bagi generasi sekarang.

Jadi kemaslahatan yang di tuju Islam adalah kemaslahatan dunia dan akhirat, yang meliputi aspek rohani dan jasmani. Kemaslahatan yang seimbang (tawazun) antara individu dan masyarakat, antara masyarakat dan status sosial di dalamnya. Dan kemaslahatan antara kebangsaan tertentu dan kemanusiaan secara umum. Kemaslahatan ini tidak lain berupa persamaan dan keadilan.

Manusia punya banyak keterbatasan dan kadangkala pasti terpengaruh oleh hawa nafsu dan berbagai kecenderungan terhadap pribadi, keluarga, tempat maupun terhadap status sosial, perkumpulan, suku, dan bangsa serta kebangsaan. Sadar atau tidak sadar manusia akan dipengaruhi hal-hal ini.

Oleh karena itu, pemeliharaan menyeluruh terhadap kemaslahatan baik bersifat individu, kemasyarakatan, jasmani, rohani, akal, berbagai status sosial, berbagai kebangsaan, warna kulit, hanya mampu dilakukan oleh Tuhan pencipta manusia itu.

2. Wajibnya Menolak Kemafsadatan (kerusakan) Dalam Rangka Memelihara Kemaslahatan

 bertujuan menghilangkan kemafsadatan (kerusakan).
 Selanjutnya jika tujuan dari syari'at Islam adalah untuk memelihara kemaslahatan maka ia pun dengan sendirinya
"Tidak ada perusakan terhadap diri  sendiri dan saling merusakkan " (HR. Malik di Al Muwattha. Juga Ahmad, Ibnu Majah dari Ibnu Abbas. Al Haitsami berkata, "rijalnya tsiqoh". An Nawawi dalam al adzkar mengatakan hadist ini hasan. Juga Hakim di Al Mustadrak dan Baihaqi di sunannya dari Abu Said. Hakim menshahikannya sesuai syarat Muslim dan di sepakati oleh Adz zahaby. Di shahikan oleh Ibnu Sholah karena jalurnya banyak).

Hadist ini walaupun dari segi lafaz nya hadist ahad namun kandungan bersifat qothi'iy berisi pembatasan hukum-hukum juz'iy (parsial) yang tidak sedikit yang ditetapkan oleh AlQur'an dan Sunnah melalui kaidah hadist ini. Imam Abu Daud berkata, "Fikih itu berporos pada lima buah hadist di antaranya hadist ini".

Dengan demikian menolak mafsadat (kerusakan) adalah wajib dalam rangka menjaga tegaknya kemaslahatan, bahkan termasuk ke dalam pemeliharaan kemaslahatan itu sendiri dari segi menghilangkan kemafsadatan itu sendiri. Apabila perusakan terhadap diri sendiri dan kepada orang lain dapat terjaga dan dipertahankan, otomatis kemaslahatan dan kebaikan juga akan terjaga. Sehingga di atas pondasi ini segala perintah dan larangan syari'at di tegakkan.

Maka Jika di ketahui bahwa segala perintah syari'at itu bergantung kepada kemaslahatan sebagaimana larangan bergantung kepada masfsadat (kerusakan). Maka kemaslahatan itu jika ada pada tingkat paling rendah, maka di situlah letaknya hukum sunnah dan bila ia berada pada tingkatan paling tinggi disitulah berlaku hukum wajib. Begitu pula tingkatan mafasadat (kerusakan), jika ia berada pada tingkat yang rendah, maka di situlah berlaku hukum makruh. hukum makruh ini akan meningkat naik dengan naiknya pula nilai mafsadat (kerusakan) sehingga ia sampai kepada tingkatan makruh yang paling tinggi di bawah tingkatan haram sedang jika ia berada pada tingkatan paling tinggi, maka berlakulah hukum haram.

3. Bertentangannya Kemaslahatan Dan Mafsadat Dan Bagaimana sikap Syari'at Terhadapnya

Bagaimana jika antara kemaslahatan saling bertentangan ? Atau jika kemaslahatan berbeturan dengan mafsadat ? Boleh jadi sesuatu maslahat bagi seseorang atau kelompok manusia tertentu tapi dalam waktu bersamaan merupakan mafsadat yang memudharatkan yang lain.  Atau sesuatu mengandung manfaat dari satu sisi dan kemudharatan di sisi lain.

Di sini kita menemouh yang pertama jalan taufiq (menghimpun nash-nash yang saling paradoks). Menempuh jalan taufiq ambil misalnya masalah poligami. Poligami atau memiliki beberapa istri secara adat atau kebiasaan bisa menimbulkan mafsadat yaitu permusuhan antar istri-istri tersebut sehingga dalam kondisi ini ia di haramkan secara mutlak. Ini lah pegangan syari'at nabi Isa demi mendahulukan kemaslahatan kaum wanita dengan melenyapkan kemudharatan dan permusuhan yang timbul akibat poligami tersebut.

Kebalikan dari itu pada syari'at nabi Musa  yang membolehkan seorang laki-laki mempunyai istri banyak tanpa batas dalam rangka memelihara  kemaslahatan kaum laki-laki.

Sedangkan syari'at Islam dengan sifatnya yang moderat berada di antara kemaslahatan kaum laki0-laki dan perempuan.  Maka Islam Membolehkan seorang lelaki menikah lebih dari satu, tapi dibatasi jumlahnya dan dengan alasan-alasan tertentu dan mensyaratkan adanya sikap adil dalam praktek poligami tersebut terutama dalam masalah nafkah, tiidak seperti Taurat ajaran Nabi Musa yang bebas. Dengan demikian maka kemaslahatan laki-laki terpelihara namun tidak melupakan kemaslahatan kaum perempuan. Ini jalan tengah menghimpun dua kemaslahatan.

Ini pula yang diperbuat Islam dalam maslah kemanusiaan pada zaman sekarang ini, yaitu maslah sosial dan individu. Islam tidak berlebih-lebihan dalam memberikan hak kepemilikan bagi kepentingan  individu terutama dalam menumpuk-numpuk harta sebagaimana kaum kapitalis yang individualistis saat yang bersamaan Islam juga tidak berlebih-lebihan terhadap kepentingan sosial atau hak kepemilikan bersama sehingga berbeda dengan pandangan kaum sosialis yang tidak mengakui kepemilikan individu dan tidak memberi kemerdekaan kepada individu. Mereka menindasnya atas nama kemaslahatan bersama-sama. Adapun Islam mengakui kepemilikan individu dan kemerdekaannya serta hak-hak kemanusiaan. Namun semuanya itu terikat oleh peraturan demi kemaslahatan bersama dimana keadilan dan keseimbangan antara kepentingan individu dan sosial terealisir tanpa berat sebelah. 

Kedua, yaitu jalan Tarjih. Mentarjih berbagai kemaslahatan satu sama lainnya berbeda tingkatannya. Kemaslahatan yang bersifat pelengkap (tahsinat) tidak sama dengan kemaslahatan yang bersikap sekunder (hajiyat) dimana berbeda dengan kemaslahatan yang bersifat primer (dharuriyaat). Kemaslahatan dharuriyat paling utama di pelihara, kemudian yang hajiyat, kemudian yang tahsinat. Apabila kemaslahatan hajiyat bertentangan dengan kemaslahatan dharuriyaat, maka kemaslahatan dhharuriyaat lah yang di utamakan. Apabila kemaslahatan tahsinat berbenturan dengan kemaslahatan hajiyat maka kemaslahatan hajiyat lah yang di utamakan.

Maka sebagian Ulama membolehkan memberontak terhadap penguasa yang durjana. Imam Malik berkata : "jika jihad (melawan penguasa ygg durjana) ditinggalkan, maka akan memberikan mudharat dan bahaya bagi umat Islam secara keseluruhan". Imam Syatiby : "Jihad itu dharuriyaat (pokok), sedangkan pemimpin juga dharuriyaat, dan keadilan di dalamnya menjadi pelengkap bagi dharuriyaat tersebut, sedang pelengkap itu jika membawa  kepada bahaya, maka ia tidak di anggap, (Al Muwafaqaat, juz 2/15). Oleh karena itu, telah datang perintah jihad (berontak) terhadap para pemimpin yang durjana, (HR Abu Daud).

Adapun kemaslahatan yang bersifat dharuriyaat itu juga banyak tingkatan. Tingkatan yang paling tinggi ialah dien (agama) kemudian dan yang paling rendah ialah harta. Oleh karena itu, bila ada alternatif antara hidup dan hilangnya harta, maka yang dipilih adalah hidup karena ia lebih penting. Jika  mempertahankan nyawa akan mengakibatkan lenyapnya dien (agama), maka yang di dahulukan ialah membela dan menegakkan dien kendati berakibat lenyapnya nyawa. Begitupun bila mempertahankan nyawa seseorang mengakibatkan lenyapnya nyawa orang banyak, maka menyelamatkan nyawa banyak orang harus lebih di dahulukan dari pada mempertahankan nyawa satu orang.

Di atas kaidah inilah syari'at Islam berdiri, yaitu bahwa kemaslahatan jika saling bertentangan, maka yang paling tinggi tingkatanya dan paling pentinglah yang  didahulukan. Jika mafsadat saling berbenturan dengan mafsadat lainnya, maka yang paling ringanlah yang diambil dengan meninggalkan yang lebih besar.  (bersambung dalam tema lanjutan atau yang lain.............)


Meneruskan tulisan yang lalu berkaitan dengan syari'at Islam dengan tujuan teman-teman agar lebih jauh mengenal syari'at Islam agar tidak anti atau phobia sebelum mendalaminya. Dalam hal ini saya akan berikan beberapa tambahan bagi tulisan sebelumnya tentu memohon taufiq dan inayah dari Allah dan koreksi serta tambahan dari teman-teman sekalian.

Pembagian kemaslahatan yang menjadi tujuan syari'at dalam tiga tingkatan (dahruriyaat, hajiyat, tahsinat) tidak bersandar kepada nash maupun ijma', tetapi berdasarkan kepada penyelidikan bagian-bagian hukum syari,at dalam berbagai bab fiqih baik bagian ibadah, muamalah, pernikahan, jinayat dan sebagainya. Dan ini merupakan pembagian yang bersifat rasional, cocok dengan fitrah dan karakateristik dunia dan tuntutan umat manusia.

Adapun pembagian dharuriyyat menjadi lima atau enam, yaitu ; dien, jiwa, akal, keturunan, harta dan harga diri nampak sebagai hal-hal yang harus dipelihara melalui diwajibkannya hukum-hukum dan sanksi-sanksi duniawi. Ini menunjukkan betapa pentingnya enam hal tersebut untuk dilindungi dan dipelihara menurut kaca mata syari'at.

Oleh karena itu syari'atkan hukum qishohs (balas yang seimbang) bagi sipembunuh dalam rangka memelihara jiwa kecuali keluarga korban memaafkan dan tidak mengambil hak qishoshnya. Begitu pula hukuman dera bagi para peminum khamar, pencandu narkoba, dan hukuman yang lebih berat lagi bagi penjual khamar dan pengedar narkoba tergantung dari besar kecil dampak yang ditimbulkannya, semua dalam rangka memelihara akal. Hukuman dera atau rajam bagi penzina semua dalam rangka memelihara keturunan. Dan hukuman potong tangan bagi pencuri termasuk disini korupsi dilihat dari sebab dan kadarnya dalam menimbulkan kerugian harta baik terhadap pribadi seseorang atau negara sekaligus rakyat, ini semua tujuannya untuk memelihara harta. Begitupun hukuman bagi orang yang menuduh orang lain berzina dalam rangka memelihara harga diri.

Tidak sedikit ayat atau hadis menyatakan tentang betapa pentingnya lima atau enam dharuriyaat di atas  untuk dipelihara sehingga di kenal istilah dharuriyaat alkhamsu aw assittu atau kulliyyat al khamsu aw sittu (lima atau enam tjuan pokok primer syari'at). Riwayat berkaitan dengan hal tersebut ;

"Barangsiapa yang mati karena membela hartanya berarti ia syahid". (Muttafaq 'alaih seperti dalam jami' shaghier no.6444)

Said bin Zaid ra meriwayatkan : "Barangsiapa yang mati membela hartanya berarti ia syahid, dan barangsiapa yang mati membela jiwanya berarti syahid, juga barangsiapa yang mati membela agamanya berarti ia syahid serta barangsiapa yang mempertahankan keluarganya berarti ia syahid". (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi dan Nasai serta ibnu Hibban dalam sahihnya seperti dalam shahih jami' shoghier no.6440)

Jadi Islam dengan syari'atnya menaruh perhatian kepada masyarakat secara umum tidak membedakan latar belakang agamanya sebagaimana pula terhadap individu. Islam bersikap seimbang (tawzun) antara kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat tanpa berlebih-lebihan atau kurang. Jadi Islam dalam hal ini berbeda dengan sistem kapitalisme begitupun dengan paham falsafah sosialis (marxisme). Syari'at Islam punya karakter tersendiri yang khas dalam  berbagai aspek dalam mengatur kehidupan manusia menuju dunia ini agar lebih baik.

Nilai-Nilai Kemasyarakatan Yang Luhur

Di antara hal yang melekat dan tak akan terpisah dari syari'at Islam adalah menegakkan nilai-nilai kemasyarakatan yang luhur, dan menjadikannya sebagai tujuan pokok yang mendasar dan semua itu ditunjukkan oleh nash-nash yang mutawatir dan hukum-hukum yang tidak sedikit.

Di antara nilai-nilai luhur tersebut :

1. Keadilan (al 'adalah)

2. Persaudaraan (ukhuwah)
3. Solidaritas (at akafaful)
4. Kemerdekaan (al Huriyyah)
5. Harkat dan Martabat (al Karamah)

 Syari'at Islam dan Prinsip Keadilan

Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS. Al Hadiid : 25)

Ayat ini dengan jelas menerangkan misi para nabi adalah dalam dan alkitab yang mereka bawa adalah agar manusia mejalankan keadilan, yaitu keadilan yang menjamin seluruh hak-hak kemanusiaan.

Katakanlah: "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan". (QS.Al A'raf : 29)


"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran." (QS. An Nahl : 90)

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. (QS. An Nisaa : 135)


"Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat mu." (QS. Al An'am : 152)


Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al Maidah :8)

"Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." (QS.Al mumtahanah : 8)

Ayat ini, menggabung berbuat baik dengan berbuat adil, dan kemudian Allah menyatakan bahwa Allah mencintai mereka yang  bersikap adil. Ini menunjukkan bahwa hukum ini tsabit (permanen), tidak berubah menembus ruang dan waktu. 


Masih ratusan ayat dan hadis yang menganjurkan prinsip keadilan ini yang tak akan anda temui dalam ajaran maupun kitab agama apapun melainkan Islam. Keadilan yang diperintah Islam adalah keadilan dalam berbagai bentuk sikap kepada siapapun termasuk kepada non muslim tanpa pandang bulu.Kalau seandainya kita mau meneliti sebelum mencemooh hukum-hukum Islam pasti kita akan menemukan bahwa seluruh hukum-hukum Islam berpijak di atas prinsip keadilan ini dalam berbagai halnya.

Sedikit tentang keadilan dalam poligami atau keluarga :


"Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja."  (QS. An Nisaa' : 3)

Keadilan yang diperintah disini adalah keadilan yang bersifat lahiriah yang disanggupi dan pasti bisa dilakukan manusia, seperti masalah nafkah, waktu gilir, jadi bukan keadilan dalam cinta dan perasaan yang tidak dikuasai. Dan ini yang dimaksud firman Allah :

"Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung." (QS. An Nisaa : 129)

Wallahu 'alam mudah-mudahan manfaat !!!

Oleh: Fery Muzakky

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut